Virus Corona dan Kematian Menurut Yuval Noah Harari

Virus corona yang saat ini tengah mewabah di sejumlah negara diyakini akan membawa cara pandang manusia di abad modern dalam memaknai kematian secara lebih teknis. Kematian yang selama ini rahasia tuhan diyakini akan menjadi bernilai di tangan para saintis untuk kepentingan kehidupan manusia yang lebih kekal.
Setidaknya itulah padangan Yuval Noah Harari, seorang sejarawan Israel yang juga profesor di Departemen Sejarah Universitas Ibrani Yerusalem. Ulasannya itu dipublikasikan di laman The Guardian pada 20 April 2020 dengan judul “Yuval Noah Harari: Will coronavirus change our attitudes to death? Quite the opposite”.
Untuk mencermati ulasan penulis dua buku best seller Sapiens dan Homo Deus tersebut, setidaknya perlu diketahui Harari adalah penganut pemikiran materialisme dalam filsafat yang mungkin mengarah pada pandangan-pangangan ateisme dalam teologi.
Dalam pembuka tulisan tersebut Hariri berpandangan bahwa dunia modern dibentuk oleh keyakinan bahwa manusia dapat mengelak dari kematian. Menurutnya, hal itu adalah suatu sikap baru yang revolusioner, meskipun sejarah mencatat bahwa manusia tunduk kepada kematian.
Bahkan, agama dan ideologi dalam melihat kematian tidak hanya sebagai sebuah takdir, tetapi sebagai sumber utama makna dalam kehidupan. Kematian dianggap sebagai peristiwa paling penting dari keberadaan manusia setelah embusan napas terakhir. Menurut Hariri mereka meyakini hanya dengan kematian rahasia kehidupan akan tersingkap. Karena dengan cara itu manusia mendapatkan keselamatan yang kekal, atau menderita penderitaan yang kekal.
“Untuk sebagian besar sejarah, pikiran manusia sibuk memberi makna pada kematian, bukan berusaha mengalahkannya,” katanya.
Namun bagi Harari, sejak kedatangan revolusi ilmiah, para ilmuwan meyakini kematian bukanlah keputusan ilahi. Kematian hanyalah persoalan teknis. Kematian adalah menyangkut kesalahan teknis seperti jantung berhenti memompa darah, kanker yang menghancurkan hati, dan juga virus yang menggerogoti paru-paru. Dan semua persoalan teknis tersebut tidak ada kaitannya dengan hal-hal metafisik.
“Jantung berhenti memompa darah karena tidak cukup oksigen yang mencapai otot jantung. Sel kanker menyebar di hati karena kemungkinan mutasi genetik. Virus menetap di paru-paru saya karena seseorang bersin di bus. Tidak ada yang metafisik tentang itu,” tulisnya.
Dalam keyakinan Hariri, sains percaya bahwa bahwa setiap persoalan teknis memiliki solusi teknis. Semuanya persoalan teknis tidak membutuhkan hal-hal yang bersifat metafisis untuk menyelesaikannya.
Dalam pencapaian penyelesaian persoalan teknis untuk mengekalkan kehidupan manusia, Hariri mengajukan sejumlah data yang dijadikan bukti dalam usaha memperpanjang hidup manusia. Menurutnya, selama dua abad terakhir, harapan hidup rata-rata telah melonjak dari di bawah 40 tahun menjadi 72 di seluruh dunia, dan lebih dari 80 di beberapa negara maju.
Hingga abad ke-20, setidaknya sepertiga dari anak-anak tidak pernah mencapai usia dewasa akibat disentri, campak dan cacar. Pada abad ke-17 di Inggris, sekitar 150 dari setiap 1.000 bayi baru lahir meninggal di tahun pertama, dan sekitar 700 yang mencapai usia 15 tahun. Kini hanya lima dari 1.000 bayi di Inggris yang meninggal di tahun pertama.
Terkait pergeseran nilai sebuah kematian, menurut Hariri, saat pandemi virus corona seperti sekarang, muncul fenomena yang dinilai menggeser kepercayaan masyarakat dari tokoh agama kepada ilmuwan. Untuk keberlangsungan hidup manusia dan terhindar dari virus. Pahlawan saat ini adalah petugas medis yang menyelamatkan jiwa.
Pahlawan super pada saat ini adalah para ilmuwan di laboratorium. Mungkin dalam waktu satu tahun ke depan orang-orang di laboratorium akan lebih efektif menangani virus corona karena telah menemukan vaksin.
Menurut Hariri, kecenderungan sikap manusia terhadap kematian hari ini adalah sebagai kegagalan manusia yang dapat dicegah. Dia juga meyangkal bencana seperti kecelakaan, kebakaran, hingga bencana alam sebagai hukuman tuhan terhadap manusia.
#